LawasTau Loka, l awas y ang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda.ArticlePDF Available AbstractSastra lisan merupakan media pengungkap ekspresi manusia yang hidup dan berkembang pada masyarakat pemiliknya. Sastra lisan sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari kandungan nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat konstektual. Masyarakat Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, salah satunya dalam bentuk puisi lawas.Lawas dikenal luas pada masyarakat Samawa sejak zaman dahulu sampai saat ini. Lawas begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Samawa sehingga lawas mempunyai berbagai bentuk ekspresi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Lawas yang mempunyai berbagai bentuk ekspresi disajikan dalam berbagai konfigurasi. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas, seperti dalam penyajian lawas pada yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas mempunyai kesamaan dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris, yakni yang mempunyai bentuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual. Peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media persahabatan. Lawas sebagaimana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukkan seperti, sakeco, ngumang, begero, saketa yang memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan sebagainya yang banyak digunakan oleh masyarakat di luar Samawa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Lawas Samawa dalam Konfigurasi Budaya Nusantara Made Suyasa Abstrak Sastra lisan merupakan media pengungkap ekspresi manusia yang hidup dan berkembang pada masyarakat pemiliknya. Sastra lisan sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari kandungan nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat konstektual. Masyarakat Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, salah satunya dalam bentuk puisi lawas. Lawas dikenal luas pada masyarakat Samawa sejak zaman dahulu sampai saat ini. Lawas begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Samawa sehingga lawas mempunyai berbagai bentuk ekspresi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Lawas yang mempunyai berbagai bentuk ekspresi disajikan dalam berbagai konfigurasi. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas, seperti dalam penyajian lawas pada sakeco. Konfigurasi yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas mempunyai kesamaan dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris, yakni yang mempunyai bentuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual. Peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media persahabatan. Lawas sebagaimana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukkan seperti, sakeco, ngumang, begero, saketa yang memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan sebagainya yang banyak digunakan oleh masyarakat di luar Samawa. Kata Kunci Sastra lisan, lawas, budaya Pengajar pada Universitas Muhammadiyah Mataram ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa 1. Pengantar Etnis Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan. Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai aktivitas kehidupan, seperti saat menuai padi, karapan kerbau, upacara adat keagamaan seperti perkawinan dan sunatan, serta dalam berbagai bentuk hiburan. Lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat sebagaimana sastra lisan yang hidup di daerah lain. Secara turun temurun lawas dalam penyampaiannya dinyanyikan baik oleh perorangan maupun kelompok yang disebut balawas. Balawas kemudian menjadi sebuah seni penyampaian lawas yang dipertunjukkan dihadapan orang banyak untuk keperluan upacara adat atau hiburan. Balawas di samping memanfaatkan lawas dan temung tembang ada juga memanfaatkan seni lain sebagai pendukungnya yakni seni musik. Balawas kemudian menjadi seni menyampaikan lawas yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 dikenal dalam bentuk saketa, gandang, ngumang, sakeco, langko, badede, dan basual Suyasa, 20027. Kehidupan sastra lisan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya Tuloli,19912. Perubahan tersebut meliputi pola dan cara pandang tentang kehidupan, serta terbatasnya kemampuan masyarakat dalam menginterpretasikan warisan budaya yang diterimanya. Kemampuan yang terbatas pada masyarakat dalam mewarisi kekayaan budaya yang berupa sastra lisan serta adanya arus pengaruh dari luar akan menyebabkan hilangnya beberapa bentuk sastra serta terjadinya pergeseran makna, fungsi, dan timbulnya variasi bentuk. 1984330 mengatakan bahwa sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh asing tulis atau lisan. Sastra lisan di Indonesia sangat memungkinkan terjadinya perubahan, hal ini akibat pergesekan antar budaya yang sangat tinggi walaupun pada beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas. Konfigurasi yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas juga mempunyai beberapa kesamaan seperti dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris yakni yang mempunyai betuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa komunikasi dan persahabatan. Lawas sebagai mana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukan lisan seperti, balawas, sakeco, saketa, ngumang, gandang, langko, badede, basual yang juga memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan lain sebagainya yang punya kemiripan dengan daerah di luar Samawa. Ekspresi sastra lisan lawas Samawa yang tercermin dalam bentuk, isi, dan penyajian lawas merupakan bagian dari sebuah gambaran konfigurasi budaya Nusantara yang perlu ditelusuri lebih jauh untuk mengetahui keberadaannya dalam masyarakat, proses perkembangannya, dan ragam penyampaiannya yang sangat kontekstual. Dalam konteks ini budaya sebagai wahana perekat antar masyarakat antar suku bangsa setidaknya mampu meminimalkan berbagai persoalan yang muncul dikemudian hari. Dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat persoalan ini dengan harapan akan dapat memberikan informasi tentang keberadaan lawas Samawa dengan berbagai bentuk dan perkembangannya. Di samping itu, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap keberadaan sastra lisan yang semakin lama semakin sedikitnya mendapat perhatian dari para peneliti sastra dan juga masyarakat pemiliknya termasuk pemerintah daerah. Sebagai bentuk penyadaran akan betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sastra lisan lawas sejak zaman dahulu hingga saat ini dalam menjaga nilai-nilai kearifan budaya lokal dan nusantara. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 2. Pembahasan Perjalanan Sejarah Sumbawa Sumbawa adalah sebuah pulau yang ditempati oleh empat kabupaten dan satu kota madya, lawas tumbuh, hidup, dan berkembang di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat KSB yang dulunya menjadi satu kabupaten dan pada beberapa tahun yang lalu berpisah membentuk kabupaten sendiri yaitu KSB. Namun kedua kabupaten ini mempunyai sejarah perkembangan yang sama dan bahasa yang sama yakni bahasa Sumbawa, Kota Sumbawa Besar sebagai pusat pemerintahan pada zaman Kesultanan Sumbawa telah menjadi pusat peradaban kebudayaan Samawa, dan dari sinilah simpul-simpul budaya Samawa menyebar ke wilayah timur dan barat Sumbawa. Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa nama Sumbawa sudah dikenal dalam berita Cina tahun 1225 dari Chau-Ju-Kua yang menulis Chu-Fan-Chi, yang menyebut nama Sumbawa sebagai daerah taklukan kerajaan Kediri Jawa. Dalam syair ke empat belas dari Negara Kertagama 1365 disebut nama tertinggi pulau Sumbawa yang telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit seperti Taliwang, Dempo Dompu, Sapi Sape, Bhima Bima, Ceran seran, seteluk, Hutan Utan. Nama Sumbawa juga muncul dalam Kidung Ranggalawe dan Kidung Pamancangah yang menyebut kuda-kuda Sumbawa yakni di Kere Bima tepatnya di teluk Sanggar bagus. Selain itu, dalam Kidung Pamancangah disebut pula tentang penguasa Bedahulu Bedulu Bali yang bernama Ki Pasung Grigis atas perintah Jawa mengadakan ekspedisi Chambhawa Sumbawa. Catatan sejarah berlanjut ketika mulai masuknya Islam yang menurut Zollinger bahwa Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1440-1450 dan agama ini tersiar dari Jawa. ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Dalam Babad Lombok juga dikatakan bahwa Islam dari Jawa masuk ke Sumbawa, Dompu, dan Bima melalui Lombok, namun hal ini dibantah dalam Bo Mbojo Kronik Bima yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Bima via Makasar. Zollinger 1850 menyebut adanya interaksi yang cukup menarik di luar penduduk asli Sumbawa yakni adanya kehadiran sejumlah besar orang-orang Bugis, Makasar, dan Bajo yang berdiam di sepanjang pantai utara Sumbawa. Ligchvoet 1876 juga menyebutkan selain kedatangan orang Bugis dan Makasar ke pulau ini juga ke datangan orang Selayar, Mandar, dan Arab. Sumbawa tampaknya menjadi daerah yang sangat menarik dan terbuka bagi setiap pendatang sehingga pulau ini menjadi semakin beragam penghuninya yakni dari berbagai suku bangsa. Lebih dari seperempat abad sebelum Ligchvoet dan Zollinger menyebut pula orang-orang asing lain di Sumbawa, misalnya dari Jawa, Bali, Sasak, dan Manggarai. Mereka adalah keturunan dari orang-orang yang datang pada abad sebelumnya Syamsuddin, 19829. Seperti halnya dengan kesultanan Bima, kesultanan Sumbawa juga menjalin hubungan dan berorientasi ke utara yaitu Sulawesi Makasar yang ditindaklanjuti dengan perkawinan politik untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh kesultanan Bima. Di samping itu, hubungan dan orientasi kesultanan Sumbawa juga di arahkan ke barat semula menunjukkan perhatian ke Selaparang Lombok dimana Sumbawa sempat menguasai Lombok bagian timur namun harus berkompetisi dengan Bali yang akhirnya Sumbawa terdesak pada abad ke-18. Namun pada abad ke-19 setelah beberapa tahun Indonesia merdeka Sumbawa-Lombok bersatu kembali menjadi provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kotanya Mataram sampai saat ini. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Lawas sebagai Puisi Rakyat Membicarakan sastra lisan sebagai sastra rakyat yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakatnya di wilayah Nusantara menjadi sangat menarik, mengingat bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Menurut Hutomo 199160 dalam sastra lisan atau kesusastraan lisan ekspresi kesusastraan masyarakat sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1 sastra lisan yang lisan murni adalah sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan; dan 2 sastra lisan yang setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. Dalam sastra lisan murni seperti puisi rakyat disampaikan dengan dilagukan/diiramakan menggunakan irama/tembang. Sastra lisan yang setengah lisan disampaikan dengan bantuan seni lain seperti gendang, rebana, gong, seruling, dan sebagainya. Dari segi genre atau jenis sastra lisan dapat berbentuk puisi rakyat, prosa rakyat, dan teater rakyat. Lawas sebagai puisi rakyat dikatakan sebagai ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia Rayes, 19914. Lawas sebagai puisi rakyat hingga kini masih tetap menjadi bentuk ekspresi masyarakatnya sebagai milik bersama rakyat bersahaja secara turun-temurun folk literature. Lalu Manca mengemukakan bahwa lawas dikatakan sama dengan sanjak yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pujangga dari kota Lawas. Lawas dikatakan mendapat pengaruh “Elompugi” Elong Ugi syair Bugis. Lawas adalah syair yang terdiri dari 3,4,6 baris dan tiap barisnya terdiri dari delapan suku kata Manca, 198434. Mengenai kata lawas yang diidentikkan dengan nama salah satu kota asal pujangga yang membawanya banyak budayawan Sumbawa menolak perkiraan itu, ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa karena lawas tumbuh, hidup dan berkembang dari bahasa Samawa. Sumarsono,dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu 198575. Sebagai bentuk ekspresi yang paling dikenal dalam masyarakat, lawas merupakan cermin jiwa anak-anak, getar sukma muda-mudi, dan orang tua. Berdasarkan ekspresinya kandungan isi lawas dikenal sebagai lawas tau ode anak-anak, lawas taruna dadara muda-mudi, dan lawas tau loka orang tua. Lawas Tau Ode, lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih sayang seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh sang bayi, lawas jenis ini biasanya disampaikan saat akan menidurkannya. Dede intan mua dewa Duhai sayang duhai gusti Mua bulaeng tu tino Duhai emas yang di dulang Cante jina asi diri Sungguh pandai meratap diri Lawas Taruna-Dadara, lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan, dan lain sebagainya. Ajan sumpama kulalo Seandainya aku bertandang Kutarepa bale andi Mampir di rumah adinda Beleng ke rua e nanta Adakah gerangan belas kasihan Lawas Tau Loka, lawas yang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas ini biasanya berisikan ajaran moral, agama dan lawas ini sering dipakai untuk menasehati pasangan pengantin. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Pati pelajar we ate Patuhi ajaran wahai sukma Namun pina buat lenge Jangan tunaikan laku buruk Pola tu leng desa tau Tahu diri dirantau orang Lawas sebagai puisi rakyat yang hidup dalam masyarakat Samawa telah dijadikan sebagai performing art karena di dalam penyajian/ penyampaian lawas menggunakan irama lagu tertentu temung yang disesuaikan dengan bentuk penyampaiannya. Penyampaian lawas Samawa secara garis besar ada dua versi yang dikenal dengan versi Ano Siyup daerah dibagian timur /tempat matahari terbit dan versi Ano Rawi daerah di bagian barat/ tempat matahari terbenam. Versi Ano Siyup berkembang di daerah tertentu yakni dibagian timur kabupaten Sumbawa Empang, Pelampang, Moyo Hilir/Hulu, Kota Sumbawa, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang sedikit lebih lambat. Sedangkan versi Ano Rawi berkembang di daerah bagian barat kabupaten Sumbawa meliputi Kecamatan Utan, Alas, dan daerah kecamatan di Kab. Sumbawa Barat Taliwang, Seteluk, Jereweh, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang lebih cepat, karena itu dalam penyapaian lawas sakeco yang menggunakan rebana versi ini biasanya memakai rebana ode yang suaranya lebih kecil dan melengking. Penyampaian lawas ada dalam berbagai bentuk dengan temung dan ada dengan peralatan musik seperti rebana ode, rea,serunae, gong genang, bentuk penyampaian tersebut seperti, balawas, gandang, saketa, ngumang, badede, basual, langko, dan sakeco. Balawas, bentuk penyampaian lawas dimana lawas yang disampaikan secara beramai-ramai oleh para wanita bianya dalam rangkaian perkawinan. Lawas yang biasanya disampaikan pada saat seperti ini disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan, seperti ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa pengantin sedang barodak luluran atau setelah akad nikah, resepsi perkawinan biasanya lawas yang dilantunkan adalah lawas muda-mudi dan lawas yang berisi nasehat. Gandang, sekelompok muda-mudi yang melantunkan lawas dengan diiringi serune seruling atau pukulan alu. Jika lawas disampaikan dengan iringan seruling disebut gandang suling, sedangkan jika diiringi pukulan alu disebut gandang nuja. Saketa, lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong royong membangun rumah dan mengangkat kayu-kayu untuk menyemangati. Ngumang, lawas yang disampaikan pada saat acara karapan kerbau dan berempuk tarung tradisional ala Samawa dimana bertujuan untuk menyemangati para peserta dan juga membangkitkan semangatnya dengan menyampaikan lawas. Badede, menembangkan lawas yang ditujukan untuk anak menjelang tidur menina bobokan. Lawas yang biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang meninabobokan atau mengasuh bayi, dan lawas yang disampaikannya pun adalah lawas permohonan kepada Tuhan agar anak panjang umur, berguna bagi keluarga, agama, nusa dan bangsa. Basual, berasal dari kata sual artinya soal, basual adalah menyampaikan soal yang berupa sampiran dari sebuah lawas dan mengharapkan jawaban berupa isi dari peserta yang hadir. Basual biasanya dilakukan oleh masyarakat Samawa pada saat gotong royong mengerjakan rumah atau sedang memotong padi di sawah atau setelah acara perkawinan berlangsung. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Langko, penyampaian lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan sekelompok pemudi yang saling beradu lawas cinta. Lawas yang disampaikan dalam langko berbeda dengan basual, dimana saat malangko lawas yang disampaikan harus dijawab dengan lawas yang tidak kalang pentingnya adalah keindahan temung. Sakeco, bentuk penyampaian lawas yang paling digemari oleh masyarakat Samawa karena isi dan bentuk penyampaiannya yang sangat komunikatif, dan lawas yang disampaikannya pun dari berbagai jenis dengan irama temung yang sangat variatif. Sakeco sebagai seni penyampaian lawas menggunakan rebana sebagai pengiringnya yang selalu menyesuaikan dengan irama temung. Berbagai konfigurasi telah terbangun di antara pilar-pilar yang membangun lawas sebagai puisi rakyat, apakah pilar berupa bentuk lawas, pilar isi yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dan juga muatan kepentingan, serta pilar yang berwujud penyampaian sebagai bentuk kedekatan lawas dengan masyarakatnya dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai media pewarisan puisi rakyat. Tonggak Budaya Samawa Lawas yang dikenal luas dalam masyarakat Samawa tidak diketahui kapan kemunculannya sebagai sastra lisan yang hidup secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Menyadari akan keberadaannya sebagai sastra lisan, lawas sulit untuk ditelusuri kapan mulainya dan bagaimana awal mula bentuk dan pemanfaatannya oleh masyarakat Samawa. Data-data sejarah mengenai awal keberadaan lawas belum pernah dijumpai sampai saat ini Rayes, 19913. ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Lawas yang berinduk pada bahasa Samawa tak dapat pula diketahui kapan mulai pertumbuhannya di tengah-tengah masyarakat. Yang jelas ketika penduduk Sumbawa hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih primitif, di saat itulah bahasa Sumbawa awal mulanya tumbuh setelah melalui berbagai proses dan pembauran kebudayaan aneka suku bangsa yang menghuni tana Samawa. Lawas telah menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupannya, seakan lawas adalah tempat mereka berkeluh kesah, bersenda gurau, merekam berbagai peristiwa, merenungkan berbagai nilai-nilai kebijakan baik dalam bentuk petuah adat maupun agama. Kehadirannya dalam kehidupan kultur manusia mula pertama hanya berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia dan sebagai alat perekam peristiwa di seputar kehidupannya. Jika suasana batin manusia diliputi haru, sendu, gundah-gulana karena musibah atau datangnya bencana yang mengancam hidupnya maka untuk menanggulanginya dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata bertuah/mantra untuk mengusirnya. Mereka memberi jampi pada senjata yang mengawal hidupnya, mengadakan pemujaan lewat mantra-mantra untuk mengusir hal-hal yang menimbulkan marabahaya Rayes, 19913.Gambaran di atas mengingatkan kita awal mula kepercayaan masyarakat pada animisme yang pernah ada pada masyarakat Samawa zaman dahulu. Agaknya inilah peran awal kemunculan lawas yang diawali dari mantra sebagai bentuk puisi yang dianggap paling tua di nusantara sejak kepercayaan animisme. Sebagaimana salah satu ciri dari sastra lisan pada umumnya, lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat kolektif Tau Samawa sebagai ciri dari masyarakat komunal. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Karena itu lawas hidup pada setiap hati masyarakat pemiliknya, paling tidak setiap penduduk yang menghuni kabupaten Sumbawa mengenal lawas sebagai puisi rakyat. Sebagai puisi rakyat, lawas dilantunkan ketika memasuki pintu rumah sang gadis yang akan dipinangnya. Kaling anar mo ku ngongko Dari tangga saya jongkok Santeris lawang ku sonap Selanjutnya pintu kulalui Pendi ke aku rua na Kasihanilah diriku Setelah lawas dilantunkan barulah rombongan dipersilahkan masuk rumah sang gadis dan pembicaraan pun diawali dengan bait-bait lawas. Lawas hadir dalam berbagai aktivitas kehidupan mulai dari hiburan, upacara ritual adat hingga hajatan yang diselenggarakan pemerintah. Lawas telah menjadi salah satu bentuk pengungkapan maksud atau keinginan sekelompok orang. Lawas sering dipakai untuk memulai suatu pembicaraan, menyampaikan maksud dan juga menutup pembicaraan dalam sebuah pidato upacara adat atau resmi. Berikut contoh lawas menutup suatu pidato. Kaku ojong si parana Telah siap ku berpayung Tiris no ku beang basa Tak kan ku biarkan basah kuyup Ujan tampear ku keme Namun hujan lebat pun mengguyur Kadatang sangka Kuterima kedatangan anda ku angkang dengan terbuka Mole ku santuret kemang Pulang kami sertakan sekuntum bunga Lema mampis bawa rungan Supaya membawa berita yang harum Peristiwa yang terekam lewat lawas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya dengan ekspresi dalam bentuk bahasa yang penuh daya puitik. Sebagai perekam peristiwa tidak sedikit cuplikan peristiwa, kritik terhadap ketidaknyamanan dalam kehidupan ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa bermasyarakat, sejarah, cerita tertuang begitu indah dan runut tersaji melalui lawas tutir seperti Lalu Dia Lala Jinis, Merebat Bore, Kisah Batu Gong, Tanjung Menangis,Dadara Nesek dan masih banyak yang lainnya. Jelaslah dalam hal ini, lawas telah menjadi media komunikasi dan sebagai tonggak kebudayaan masyarakat Samawa. Ketika masyarakat Samawa mulai mengenal zaman tulisan, lawas mulai ditulis dengan satra jontal huruf Sumbawa yang mirip dengan aksara suku Bugis Lontara, walaupun kebanyakan lawas yang ditulis adalah lawas tutir cerita, silsilah, dan sejarah pahlawan sakti. Lawas yang ditulis dengan menggunakan aksara Sumbawa dalam lembaran daun lontar kemudian disimpan dalam tabung bambu yang dikenal dengan nama bumung. Karena disimpan dalam tabung bambu banyak lontar yang tidak terpelihara dengan baik sehingga lontar-lontar tersebut tidak lagi dapat dibaca untuk diketahui isinya. Perkembangan lawas tidak hanya sampai pada merekam peristiwa saja, namun lawas ketika zaman tulisan oleh para seniman lawas juga menciptakan lawas-lawas keagamaan/lawas akhirat yang berisi pujian kepada Tuhan Yang Mahaesa dan keagungan/keluhuran agama Islam, lawas ini kemudian dikenal lawas pamuji. Di zaman Sultan Sumbawa, seorang ulama terkenal yang juga seniman lawas, Haji Muhammad Dea Kandhi, menciptakan lawas agama yang ditulis dengan huruf Arab. Lawas tersebut terkumpul dalam buku Pamuji yang sampai kini masih tersimpan pada keturunan beliau dan orang-orang tertentu. Di zaman sekarang ini sudah banyak kumpulan lawas yang sudah dicetak atau diterbitkan, baik yang diciptakan sekarang maupun yang dikumpulkan dari lawas-lawas yang pernah hidup di zaman lisan dahulu. Salah satu buku yang diterbitkan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumbawa 2007 adalah karangan Usman Amin yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 berjudul Kumpulan Lawas “Kukokat Lawas Siya” yang memuat Lawas Dunia & Pergaulan serta Lawas Akhirat & Keagamaan. Lawas sebagai sastra lisan dalam penyebarannya disampaikan dalam berbagai bentuk pertunjukan dalam berbagai kesempatan, sehingga lawas menjadi performing art yang selalu menarik penggemarnya untuk menyaksikan walaupun harus sampai semalam suntuk. Pertunjukan lawas telah menjadi bagian dari setiap acara kegiatan baik adat maupun acara-acara keagamaan atau acara resmi sehingga kurang lengkap tanpa kehadiran pertunjukan lawas terutama dalam bentuk sakeco yang banyak diminati masyarakatnya karena mampu menjadi media komunikasi yang efektif. Di kalangan pemerintah Daerah Sumbawa pertunjukan lawas telah lama dipakai sebagai media untuk memasyarakatkan program pemerintah mulai dari ABRI Masuk Desa, Keluarga Berencana, Kesehatan, P4, Kampanye Parpol, pariwisata, dan sebagainya. Dari gambaran di atas, jelaslah bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Samawa mewarnai perkembangan lawas dan begitu pula sebaliknya lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakatnya. Konfigurasi Budaya Nusantara Menyimak perjalanan sejarah Sumbawa di masa lalu jelaslah bahwa interaksi masyarakat Sumbawa dengan orang-orang luar sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan itu tentu saja dilakukan oleh suku-suku bangsa ini, baik di pulau Sumbawa sendiri maupun antar suku dan pulau maka berlangsunglah silih berganti antara kompetisi dan konflik, meskipun terjadi pula eksplorasi dan kooperasi. Cara-cara hidup yang masih eksklusif dari masing-masing kelompok etnis yang dianggap mempersulit interaksi kooperatif terbukti mampu dicairkan melalui ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa kreasi-kreasi budaya. Akulturasi budaya yang begitu lama pada masyarakat Sumbawa kini telah menghasilkan berbagai konfigurasi budaya yang bernuansa etnis nusantara. Konfigurasi dalam konteks ini adalah wujud dari hasil perpaduan budaya yang dihadirkan dalam bidang seni khususnya pada puisi rakyat Sumbawa yang berupa lawas. Pengaruh dan gesekan kehidupan masyarakat menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, hingga terjadinya keinginan untuk tukar-menukar dan saling mempengaruhi kebudayaan. Ini terjadi dalam bentuk puisi rakyat Sumabawa dimana bentuk lawas tiga baris sebagai pengaruh puisi lisan Bugis yakni “Elong, Kelong” yang sampai kini masih bertahan pada kolektif Bugis di beberapa wilayah pesisir pantai di NTB Sumbawa, Bima, Dompu, dan Lombok. Pengaruh bentuk ini dapat dibandingkan pada contoh berikut. Ketengero muita Lihatlah bulan itu Aliliq alibunna Lingkarannya bundar Atikkuq rilaling Bugis Begitu pula hatiku di dalamnya Kele tau barang kayu Walaupun orang itu tidak dikenal Lamento sanyaman ate Kalau dia baik budinya Benansi sanak parana Itulah dia saudara kita Samawa Dari data di atas kedekatan kedua bentuk puisi rakyat tersebut tampak dalam urutan penyampaian maksud dimana pada baris ke tiga menjadikan simpulan dari bait tersebut. Jika diperhatikan dari jumlah suku kata setiap barisnya tidaklah sama jumlah suku kata dalam lawas rata-rata 8 suku kata sedang elong rata-rata 7 suku kata. Kerajaan budaya Makasar Goa yang sudah lama tahun 1600-an memasuki Kesultanan Sumbawa, dalam hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya interfensi budaya dan di samping adanya persebaran yang Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 merata pada orang-orang Bugis di wilayah Sumbawa yang mempercepat proses pembauran. Mengingat tingginya interaksi tau Samawa dengan penduduk pendatang yang dengan segala tingkah polahnya telah menjadi inspirasi bagi para seniman tukang lawas dalam menciptakan lawas. Berbagai cerita berkembang dalam pergaulan antar komunitas, ia saling menjaga hubungan baik dalam kerangka menciptakan kedamaian di tana Samawa maka terciptalah sebuah lawas tutir prosa liris Kisah Batu Gong gubahan Haji Maswarang dari Desa Pamulung, Sumbawa. Kisah Batu Gong menceritakan dua sahabat yakni Garantung dari Makasar dan Kaki Ranggo dari Bali yang sama-sama terdampar di Labuhan Padi, tepatnya di Desa Orong Bawa di wilayah Kecamatan Utan mereka bersepakat menjadi sahabat untuk saling membentu membangun tana Samawa. Untuk mengenang persahabatan mereka lalu membangun sebuah tempat yang bernama Batu Gong di sana ada sekumpulan batu yang berbentuk seperti gong besar yang dikelilingi oleh batu-batu kecil yang melambangkan persatuan seolah isi lawas tersebut membangun sebuah konfigurasi budaya Nusantara di tana Samawa. Berikut kutipan salah satu bait Kisah Batu Gong yang disampaikan dalam Sakeco. - - Kajiranan po sia e Setelah itu ya Tuan Mufakat tau telu nan Bermufakat mereka bertiga Beling koa Kaki Ranggo Kaki Ranggo berkata Oe Garantung balong ate Wahai Garantung yang baik hati Saboe pangeto mu balong Mari amalkan pengetahuanmu Coba tupina batu gong Coba kita buat batu gong Ada detu bilin mate Agar ada yang kita tinggalkan mati Lemanakata lupa kita Kita tidak akan dilupakan Dadi sajara pang mudi Nantinya akan menjadi sejarah Masa si era ya bangun Diakhir masa nanti dibangun Dadi tokal pariwisata Jadi tempat pariwisata ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Kunjungan ling s area tau Di datangi oleh semua orang - - Batu Gong hingga saat ini menjadi sebuah tempat pariwisata di Sumbawa yang ramai dikunjungi wisatawan, seolah-olah magnet Batu Gong yang terpancar dari dua sahabat berbeda suku dan agama telah lama menanamkan semangat persatuan dan kebersamaan dengan menyingkirkan perbedaan yang ada. Inilah sebuah gambaran toleransi yang telah dibangun melalui media seni berupa lawas. Lawas-lawas yang disampaikan dalam sakeco memang penuh dengan pesan, sindiran, ejekan, dan terkadang lucu dan porno yang membuat para pendengar tersenyum sipu. Memang lawas yang dipertunjukkan sangat kontekstual dari segi isi, penanggap sakeco dapat memesan sesuatu kepada tukang lawas agar keinginan pemesan bisa disampaikan kepeda penonton melalui pertunjukan lawas. Tukang lawas sangat menguasai formula lawas, yakni kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengemukakan ide pokok tertentu Lord, 197630. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam bentuk seni pertunjukan seperti pada sakeco. Sakeco muncul sebagai seni pertunjukan merupakan bentuk perkembangan dari Ratif yang melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang diiringi pukulan rebana. Mengingat ratif yang penuh dakwah menjadikan penonton kurang terhibur karena syair-syair yang dilantunkan diambil dari Kitab Hadroh yang berbahasa Arab. Ratif yang penuh dakwah menyebabkan penonton pendengar kurang mendapat hiburan yang sifatnya gembira Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 atau lucu, hal ini menyebabkan kehadiran lawas sebagai seni pertunjukan lawas mendapat tempat di hati masyarakat. Pertunjukan sakeco pertama kali dimainkan oleh dua orang tukang lawas dari daerah ano rawi Taliwang bernama Zakaria dan Syamsuddin. Kedua orang ini selalu tampil melantunkan lawas-lawas Samawa dengan iringan rebana, pasangan ini dikenal dengan nama Sake panggilan untuk Zakaria dan Co panggilan untuk Syamsuddin yang kemudia Sake dan Co menjadi sebauh kata yaitu Sakeco. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa kata sakeco telah ada sebelum masuknya Islam ke tana Samawa dan tidak mungkin istilah tersebut bentukan dari nama dua orang tersebut. Kata sakeco dalam tuturan sehari-hari bahasa Sumbawa tidak ada selain digunakan untuk istilah tersebut, karena itu kata sakeco perlu ditelusuri lebih jauh keberadaannya. Seni pertunjukan ini mendapat pengaruh Melayu dan Arab yang merupakan konfigurasi budaya Nusantara. Seni tabuh berupa rebana dapat kita jumpai hampir di semua daerah di Indonesia dan sejenis sakeco dapat juga kita temui dalam seni Kentrung di Jawa Timur. Sakeco dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat wong cilik. Kehidupan pertunjukan sakeco ditunjang oleh penanggapnya, tidak ada penjualan tiket dan jauh dari seni komersial. Dalam pertunjukan lawas sakeco antara pemain dengan penonton seakan tidak ada jarak, ikatan emosional pemain dan penonton begitu dekat. Sakeco dalam pertunjukannya menampilkan cerita rakyat berupa legenda, peristiwa sejarah atau kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat yang digubah ke dalam lawas tutir cerita. Tutir yang berupa lawas disampaikan menggunakan temung yang disesuaikan dengan isi tutir itu sendiri sedih, gembira mereka sampaikan dengan penuh ekspresi. Selain itu dalam masyarakat ... Konfigurasi Budaya NusantaraMade Suyasa Samawa juga dikenal seni bakelong, bentuk penyampaian elong Bugis yang juga dipadukan dengan lawas Samawa. Seni petunjukan ini juga cukup diminati oleh masyarakat Sumbawa. Seni pertunjukan di Nusantara telah mampu tumbuh dan beralkulturasi di daerah baru sebagai wujud keindonesian. 3. Penutup Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai hasil budaya lawas merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut bersifat universal dan kontekstual. Lawas sebagai ekspresi masyarakat Samawa telah menyajikan sebuah konfigurasi budaya. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam salah satu bentuk seni pertunjukan yaitu sakeco. Mabasan – Vol. 3 No. 1 Januari—Juni 2009 86-106 Daftar Pustaka Amin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah. Bahri, Syaiful. 2008. Distribusi dan Pemetaan Bentuk/Jenis Karya Sastra yang Tumbuh dan Berkembang pada Masyarakat Tutur Bahasa Bugis di Kabupaten Sumbawa. Mataram Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi NTB. Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta Grafiti. Depdikbud, NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah. Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Malang Mitra Alam Sejati. Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York Atheneum. Manca, Lalu. 1984. Sumbawa pada Masa Lalu Suatu Tinjauan Sejarah. Surabaya Rinta. Noorduyn, J. terjemahan Muslimin Jasin. 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta RIAK Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan. Rayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah Sumbawa. Sabriah. 1994/1995. Makalah, Nilai Relegi dalam Elong Ugi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Penelitian Bahasa di Ujung Pandang. Syamsuddin, Helius. 1982. Makalah, Hubungan Antar Pulau dan Interaksi Antar Suku Bangsa. Suyasa, Made. 2002. Tesis, Wacana Seni Balawas dalam Masyarakat Samawa. Denpasar Program Pascasarjana Univ. Udayana. Heni MawarniNFN UbaidullahPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam sastra lisan lawas puisi rakyat masyarakat Sumbawa. Lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan masyarakat sehingga perlu diungkapkan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dan analisis dokumen. Data dianalisis dengan teknik ketekunan pengamatan dengan pemusatan pada hal-hal yang dicari secara rinci sehingga data-data yang ditemukan peneliti akan semakin benar. Dengan begitu data-data yang ditemukan benar-benar mengandung nilai pendidikan. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan nilai pendidikan yang terkandung dalam lawas puisi rakyat masyarakat Sumbawa Nusa Tenggara Barat 1 nilai sosial, 2 nilai moral, 3 nilai religius, dan 4 nilai budaya. Nilai pendidikan yang terkandung dalam lawas tidak terlepas dari nilai-nilai luhur yang selalu menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Sumbawa. Syaiful BahriTulisan ini akan menggambarkan dua hal, yaitu 1 deskripsi bentuk dan jenis karya sastra yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat tutur bahasa Bugis di KabupatenSumbawa; 2 distribusi dan penyebaran karya sastra hasil analisis data ditemukan dua ragam karya sastra, yaitu prosa dan puisi. Dari ragam prosa ditemukan dua jenis karya sastra, yaitu dongeng dan legenda yang kesemuanya ditemukan di kedua daerah pengamatan. Pengelompokan lebih khusus menunjukkan, di Teluk Santong hanya ditemukan jenis dongeng lelucon, sedangkan di Labuan Mapin ditemukan tiga jenis dongeng, yaitu lelucon, fabel, dan dongeng biasa. Jenis legenda di Teluk Santong hanya legenda setempat, sedangkan di Labuan Mapin ditemukan legenda perorangan, keagamaan, dan alam puisi ditemukan jenis pantun kélong dan mantra jappi. Jenis pantun ditemukan di kedua daerah pengamatan, sedangkan jenis Mantra hanya ditemukan di Labuan Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan DaerahUsman AminAmin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lainJames DanandjajaDanandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta Muslimin JasinJ NoorduynNoorduyn, J. terjemahan Muslimin Jasin. 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta RIAK Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan.Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah SumbawaDinullah RayesRayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah Daerah Nusa Tenggara BaratNtb DepdikbudDepdikbud, NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Daerah. Kaliini saya ingin mengulas tentang bagaimana Adat Pernikahan Masyarakat Sumbawa khususnya masyarakat Sumbawa bagian barat dan timur. Adapun tahapan - tahapan dalam pernikahan pada masyarakat Sumbawa yaitu : J BAJAJAK (Silahturrahmi antar kedua belah pihak keluarga) Bajajak adalah pertemuan dua keluarga, atau silahturahhmi antar kedua keluarga. LAWAS SAMAWA DALAMKONFIGURASI BUDAYA NUSANTARA *Made SuyasaUniv. Muhammadiyah Mataram1. PendahuluanEtnis Sumbawa Samawa mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai aktivitas kehidupan, seperti saat menuai padi, karapan kerbau, upacara adat keagamaan seperti perkawinan dan sunatan, serta dalam berbagai bentuk hiburan. Lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat sebagaimana sastra lisan yang hidup di daerah lain. Secara turun temurun lawas dalam penyampaiannya dinyanyikan baik oleh perorangan maupun kelompok yang disebut balawas. Balawas kemudian menjadi sebuah seni penyampaian lawas yang dipertunjukkan dihadapan orang banyak untuk keperluan upacara adat atau hiburan. Balawas di samping memanfaatkan lawas dan temung tembang ada juga memanfaatkan seni lain sebagai pendukungnya yakni seni musik. Balawas kemudian menjadi seni menyampaikan lawas yang dikenal dalam bentuk saketa, gandang, ngumang, sakeco, langko, badede, dan basual Suyasa, 20027.Kehidupan sastra lisan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya Tuloli,19912. Perubahan tersebut meliputi pola dan cara pandang tentang kehidupan, serta terbatasnya kemampuan masyarakat dalam menginterpretasikan warisan budaya yang diterimanya. Kemampuan yang terbatas pada masyarakat dalam mewarisi kekayaan budaya yang berupa sastra lisan serta adanya arus pengaruh dari luar akan menyebabkan hilangnya beberapa bentuk sastra serta terjadinya pergeseran makna, fungsi, dan timbulnya variasi bentuk. 1984330 mengatakan bahwa sastra lisan pun sering mempunyai dinamika intrinsik yang kuat sekali ataupun berubah akibat pengaruh asing tulis atau lisan. Sastra lisan di Indonesia sangat memungkinkan terjadinya perubahan, hal ini akibat pergesekan antar budaya yang sangat tinggi walaupun pada beberapa ragam dasar barangkali bertahan lama. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budayaSamawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian yang terbangun dalam sastra lisan lawas mencerminkan gambaran budaya Nusantara sebagai wujud persahabatan dan berterimanya terhadap budaya lain. Bentuk lawas juga mempunyai beberapa kesamaan seperti dengan pantun Bugis dan patu’u Bima ditunjukkan dari jumlah baris yakni yang mempunyai betuk tiga baris. Isi lawas sangat kontektual peristiwa dalam berbagai lapisan masyarakat mampu terakomodasi dengan baik menjadikan lawas sebagai media komunikasi dan persahabatan. Lawas sebagai mana sastra lisan yang lain ciri utama penyampaiannya dalam bentuk pertunjukan lisan seperti, balawas, sakeco, saketa, ngumang, gandang, langko, badede, basual yang juga memadukan berbagai peralatan seperti rebana ode/rea, serunae, genang dan lain sebagainya yang punya kemiripan dengan daerah di luar sastra lisan lawas Samawa yang tercermin dalam bentuk, isi, dan penyajian lawas merupakan bagian dari sebuah gambaran konfigurasi budaya Nusantara yang perlu ditelusuri lebih jauh untuk mengetahui keberadaannya dalam masyarakat, proses perkembangannya, dan ragam penyampaiannya yang sangat kontekstual. Dalam konteks ini budaya sebagai wahana perekat antar masyarakat antar suku bangsa setidaknya mampu meminimalkan berbagai persoalan yang muncul dikemudian tulisan singkat ini penulis mencoba untuk mengangkat persoalan ini dengan harapan akan dapat memberikan informasi tentang keberadaan lawas Samawa dengan berbagai bentuk dan perkembangannya. Di samping itu, sebagai bentuk kepedulian kita terhadap keberadaan sastra lisan yang semakin lama semakin sedikitnya mendapat perhatian dari para peneliti sastra dan juga masyarakat pemiliknya termasuk pemerintah daerah. Sebagai bentuk penyadaran akan betapa besarnya sumbangan yang telah diberikan oleh sastra lisan lawas sejak zaman dahulu hingga saat ini dalam menjaga nilai-nilai kearifan budaya lokal dan Perjalanan Sejarah SumbawaSumbawa adalah sebuah pulau yang ditempati oleh empat kabupaten dan satu kota madia, lawas tumbuh, hidup, dan berkembang di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat KSB yang dulunya menjadi satu kabupaten dan pada beberapa tahun yang lalu berpisah membentuk kabupaten sendiri yaitu KSB. Namun kedua kabupaten ini mempunyai sejarah perkembangan yang sama dan bahasa yang sama yakni bahasa Sumbawa, Kota Sumbawa Besar sebagai pusat pemerintahan pada zaman Kesultanan Sumbawa telah menjadi pusat peradaban kebudayaan Samawa, dan dari sinilah simpul-simpul budaya Samawa menyebar ke wilayah timur dan barat catatan sejarah menunjukkan bahwa nama Sumbawa sudah dikenal dalam berita Cina tahun 1225 dari Chau-Ju-Kua yang menulis Chu-Fan-Chi, yang menyebut nama Sumbawa sebagai daerah taklukan kerajaan Kediri Jawa. Dalam syair ke empat belas dari Negara Kertagama 1365 disebut nama tertinggi pulau Sumbawa yang telah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit seperti Taliwang, DempoDompu, SapiSape, BhimaBima, Ceranseran, seteluk, HutanUtan. Nama Sumbawa juga muncul dalam Kidung Ranggalawe dan Kidung Pamancangah yang menyebut kuda-kuda Sumbawa yakni di KereBima tepatnya di teluk Sanggar bagus. Selain itu dalam Kidung Pamancangah disebut pula tentang penguasa Bedahulu Bedulu Bali yang bernama Ki Pasung Grigis atas perintah Jawa mengadakan ekspedisi Chambhawa Sumbawa. Catatan sejarah berlanjut ketika mulai masuknya Islam yang menurut Zollinger bahwa Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1440-1450 dan agama ini tersiar dari Jawa. Dalam Babad Lombok juga dikatakan bahwa Islam dari Jawa masuk ke Sumbawa, Dompu, dan Bima via Lombok, namun hal ini dibantah dalam Bo Mbojo Kronik Bima yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Bima via Makasar. Zollinger 1850 menyebut adanya interaksi yang cukup menarik di luar penduduk asli Sumbawa yakni adanya kehadiran sejumlah besar orang-orang Bugis, Makasar, dan Bajo yang berdiam di sepanjang pantai utara Sumbawa. Ligchvoet 1876 juga menyebutkan selain kedatangan orang Bugis dan Makasar ke pulau ini juga ke datangan orang Selayar, Mandar, dan tampaknya menjadi daerah yang sangat menarik dan terbuka bagi setiap pendatang sehingga pulau ini menjadi semakin beragam penghuninya yakni dari berbagai suku bangsa. Lebih dari seperempat abad sebelum Ligchvoet dan Zollinger menyebut pula orang-orang asing lain di Sumbawa, misalnya dari Jawa, Bali, Sasak, dan Manggarai. Mereka adalah keturunan dari orang-orang yang datang pada abad sebelumnya Syamsuddin, 19829. Seperti halnya dengan kesultanan Bima, kesultanan Sumbawa juga menjalin hubungan dan berorientasi ke utara yaitu Sulawesi Makasar yang ditindaklanjuti dengan perkawinan politik untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh kesultanan Bima. Di samping itu hubungan dan orientasi kesultanan Sumbawa juga di arahkan ke barat semula menunjukkan perhatian ke Selaparang Lombok dimana Sumbawa sempat menguasai Lombok bagian timur namun harus berkompetisi dengan Bali yang akhirnya Sumbawa terdesak pada abad ke-18. Namun pada abad ke-19 setelah beberapa tahun Indonesia merdeka Sumbawa-Lombok bersatu kembali menjadi provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibu kotanya Mataram sampai saat Lawas sebagai Puisi RakyatMembicarakan sastra lisan sebagai sastra rakyat yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakatnya di wilayah Nusantara menjadi sangat menarik, mengingat bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Menurut Hutomo 199160 dalam sastra lisan atau kesusastraan lisan ekspresi kesusastraan masyarakat sebenarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1 sastra lisan yang lisan murni adalah sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan; dan 2 sastra lisan yang setengah lisan adalah sastra lisan yang penuturannya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain. Dalam sastra lisan murni seperti puisi rakyat disampaikan dengan dilagukan/diiramakan menggunakan irama/tembang. Sastra lisan yang setengah lisan disampaikan dengan bantuan seni lain seperti gendang, rebana, gong, seruling, dan sebagainya. Dari segi genre atau jenis sastra lisan dapat berbentuk puisi rakyat, prosa rakyat, dan teater sebagai puisi rakyat dikatakan sebagai ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia Rayes, 19914. Lawas sebagai puisi rakyat hingga kini masih tetap menjadi bentuk ekspresi masyarakatnya sebagai milik bersama rakyat bersahaja secara turun-temurun folk literature. Lalu Manca mengemukakan bahwa lawas dikatakansama dengan sanjak yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pujangga dari kota Lawas. Lawas dikatakan mendapat pengaruh “Elompugi” Elong Ugi syair Bugis. Lawas adalah syair yang terdiri dari 3,4,6 baris dan tiap barisnya terdiri dari delapan suku kata 198434. Mengenai kata lawas yang diidentikkan dengan nama salah satu kota asal pujangga yang membawanya banyak budayawan Sumbawa menolak perkiraan itu, karena lawas tumbuh, hidup dan berkembang dari bahasa Samawa. Sumarsono,dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisi khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu 198575. Sebagai bentuk ekspresi yang paling dikenal dalam masyarakat, lawas merupakan cermin jiwa anak-anak, getar sukma muda-mudi, dan orang tua. Berdasarkan ekspresinya kandungan isi lawas dikenal sebagai lawas tau ode anak-anak, lawas taruna dadara muda-mudi, dan lawas tau loka orang tua.Lawas Tau Ode, lawas yang isinya tentang dunia anak-anak. Lawas anak-anak biasanya disampaikan sebagai bentuk ekspresi rasa kasih sayang seorang ibu atau kakak yang sedang mengasuh sang bayi, lawas jenis ini biasanya disampaikan saat akan intan mua dewa Duhai sayang duhai gustiMua bulaeng tu tino Duhai emas yang di dulangCante jina asi diri Sungguh pandai meratap diriLawas Taruna-Dadara, lawas yang isinya tentang perkenalan, percintaan, perpisahan, dan lain sumpama kulalo Seandainya aku bertandangKutarepa bale andi Mampir di rumah adindaBeleng ke rua e nanta Adakah gerangan belas kasihanLawas Tau Loka, lawas yang isinya tentang nasehat atau pesan bersifat dedaktis yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda. Lawas ini biasanya berisikan ajaran moral, agama dan lawas ini sering dipakai untuk menasehati pasangan pelajar we ate Patuhi ajaran wahai sukmaNamun pina buat lenge Jangan tunaikan laku burukPola tu leng desa tau Tahu diri dirantau orangLawas sebagai puisi rakyat yang hidup dalam masyarakat Samawa telah dijadikan sebagai performing art karena di dalam penyajian/ penyampaian lawas menggunakan irama lagu tertentu temung yang disesuaikan dengan bentuk penyampaiannya. Penyampaian lawas Samawa secara garis besar ada dua versi yang dikenal dengan versi Ano Siyup daerah dibagian timur /tempat matahari terbit dan versi Ano Rawi daerah di bagian barat/ tempat matahari terbenam. Versi Ano Siyup berkembang di daerah tertentu yakni dibagian timur kabupaten Sumbawa Empang, Pelampang, Moyo Hilir/Hulu, Kota Sumbawa, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang sedikit lebih lambat. Sedangkan versi Ano Rawi berkembang di daerah bagian barat kabupaten Sumbawa meliputi Kecamatan Utan, Alas, dan daerah kecamatan di Kab. Sumbawa Barat Taliwang, Seteluk,Jereweh, versi ini dalam penyampaian lawas-nya mempunyai irama yang lebih cepat, karena itu dalam penyapaian lawas sakeco yang menggunakan rebana versi ini biasanya memakai rebana ode yang suaranya lebih kecil dan lawas ada dalam berbagai bentuk dengan temung dan ada dengan peralatan musik seperti rebana ode, rea,serunae, gong genang, bentuk penyampaian tersebut seperti, balawas, gandang, saketa, ngumang, badede, basual, langko, dan bentuk penyampaian lawas dimana lawas yang disampaikan secara beramai-ramai oleh para wanita bianya dalam rangkaian perkawinan. Lawas yang biasanya disampaikan pada saat seperti ini disesuaikan dengan upacara yang dilaksanakan, seperti pengantin sedang barodak luluran atau setelah akad nikah, resepsi perkawinan biasanya lawas yang dilantunkan adalah lawas muda-mudi dan lawas yang berisi sekelompok muda-mudi yang melantunkan lawas dengan diiringi serune seruling atau pukulan alu. Jika lawas disampaikan dengan iringan seruling disebut gandang suling, sedangkan jika diiringi pukulan alu disebut gandang lawas yang dikumandangkan oleh sekelompok orang sebagai pernyataan kegirangan atau pembangkit semangat saat mengadakan permainan rakyat atau bergotong royong membangun rumah dan mengangkat kayu-kayu untuk lawas yang disampaikan pada saat acara karapan kerbau dan berempuk tarung tradisional ala Samawa dimana bertujuan untuk menyemangati para peserta dan juga membangkitkan semangatnya dengan menyampaikan menembangkan lawas yang ditujukan untuk anak menjelang tidur menina bobokan. Lawas yang biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu atau kakak yang meninabobokan atau mengasuh bayi, dan lawas yang disampaikannya pun adalah lawas permohonan kepada Tuhan agar anak panjang umur, berguna bagi keluarga, agama, nusa dan berasal dari kata sual artinya soal, basual adalah menyampaikan soal yang berupa sampiran dari sebuah lawas dan mengharapkan jawaban berupa isi dari peserta yang hadir. Basual biasanya dilakukan oleh masyarakat Samawa pada saat gotong royong mengerjakan rumah atau sedang memotong padi di sawah atau setelah acara perkawinan penyampaian lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan sekelompok pemudi yang saling beradu lawas cinta. Lawas yang disampaikan dalam langko berbeda dengan basual, dimana saat malangko lawas yang disampaikan harus dijawab dengan lawas yang tidak kalang pentingnya adalah keindahan bentuk penyampaian lawas yang paling digemari oleh masyarakat Samawa karena isi dan bentuk penyampaiannya yang sangat komunikatif, dan lawas yang disampaikannya pun dari berbagai jenis dengan irama temung yang sangat variatif. Sakeco sebagai seni penyampaian lawas menggunakan rebana sebagai pengiringnya yang selalu menyesuaikan dengan irama temung. Berbagai konfigurasi telah terbangun di antara pilar-pilar yang membangun lawas sebagai puisi rakyat, apakah pilar berupa bentuk lawas, pilar isi yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dan juga muatan kepentingan, serta pilar yang berwujud penyampaian sebagai bentuk kedekatan lawas dengan masyarakatnya dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai media pewarisan puisi Tonggak Budaya SamawaLawas yang dikenal luas dalam masyarakat Samawa tidak diketahui kapan kemunculannya sebagai sastra lisan yang hidup secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya yang penyebarannya dari mulut ke mulut. Menyadari akan keberadaannya sebagai sastra lisan, lawas sulit untuk ditelusuri kapan mulainya dan bagaimana awal mula bentuk dan pemanfaatannya oleh masyarakat Samawa. Data-data sejarah mengenai awal keberadaan lawas belum pernah dijumpai sampai saat ini Rayes, 19913.Lawas yang berinduk pada bahasa Samawa tak dapat pula diketahui kapan mulai pertumbuhannya di tengah-tengah masyarakat. Yang jelas ketika penduduk Sumbawa hidup dalam lingkungan masyarakat yang masih primitif, di saat itulah bahasa Sumbawa awal mulanya tumbuh setelah melalui berbagai proses dan pembauran kebudayaan aneka suku bangsa yang menghuni tana Samawa. Lawas telah menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat dalam berbagai aktivitas kehidupannya, seakan lawas adalah tempat mereka berkeluh kesah, bersenda gurau, merekam berbagai peristiwa, merenungkan berbagai nilai-nilai kebijakan baik dalam bentuk petuah adat maupun dalam kehidupan kultur manusia mula pertama hanya berperan sebagai alat ekspresi suasana batin manusia dan sebagai alat perekam peristiwa di seputar kehidupannya. Jika suasana batin manusia diliputi haru, sendu, gundah-gulana karena musibah atau datangnya bencana yang mengancam hidupnya maka untuk menanggulanginya dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata bertuah/mantra untuk mengusirnya. Mereka memberi jampi pada senjata yang mengawal hidupnya, mengadakan pemujaan lewat mantra-mantra untuk mengusir hal-hal yang menimbulkan marabahaya Rayes, 19913.Gambaran di atas mengingatkan kita awal mula kepercayaan masyarakat pada animisme yang pernah ada pada masyarakat Samawa zaman dahulu. Agaknya inilah peran awal kemunculan lawas yang diawali dari mantra sebagai bentuk puisi yang dianggap paling tua di nusantara sejak kepercayaan salah satu ciri dari sastra lisan pada umumnya, lawas tidak dimiliki oleh perorangan tetapi merupakan milik bersama masyarakat kolektif Tau Samawa sebagai ciri dari masyarakat komunal. Karena itu lawas hidup pada setiap hati masyarakat pemiliknya, paling tidak setiap penduduk yang menghuni kabupaten Sumbawa mengenal lawas sebagai puisi rakyat. Sebagai puisi rakyat, lawas dilantunkan ketika memasuki pintu rumah sang gadis yang akan anar mo ku ngongko Dari tangga saya jongkokSanteris lawang ku sonap Selanjutnya pintu kulaluiPendi ke aku rua na Kasihanilah dirikuSetelah lawas dilantunkan barulah rombongan dipersilakan masuk ke dalam rumah sang gadis dan pembicaraan pun diawali dengan bait-bait lawas. Lawas hadir dalam berbagai aktivitas kehidupan mulai dari hiburan, upacara ritual adat hingga hajatan yang diselenggarakan pemerintah. Lawas telah menjadi salah satu bentuk pengungkapan maksud atau keinginan sekelompok orang. Lawas sering dipakai untuk memulai suatu pembicaraan, menyampaikan maksud dan juga menutup pembicaraan dalam sebuah pidato upacara adat atau resmi. Berikut contoh lawas menutup suatu ojong si parana Telah siap ku berpayungTiris no ku beang basa Tak kan ku biarkan basah kuyupUjan tampear ku keme Namun hujan lebat pun mengguyurKadatang sangka ku angkang Kuterima kedatangan anda dengan terbukaMole ku santuret kemang Pulang kami sertakan sekuntum bungaLema mampis bawa rungan Supaya membawa berita yang harumPeristiwa yang terekam lewat lawas telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya dengan ekspresi dalam bentuk bahasa yang penuh daya puitik. Sebagai perekam peristiwa tidak sedikit cuplikan peristiwa, kritik terhadap ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, sejarah, cerita tertuang begitu indah dan runut tersaji melalui lawas tutir seperti Lalu Dia Lala Jinis, Merebat Bore, Kisah Batu Gong, Tanjung Menangis,Dadara Nesek dan masih banyak yang lainnya. Jelaslah dalam hal ini lawas telah menjadi media komunikasi dan sebagai tonggak kebudayaan masyarakat masyarakat Samawa mulai mengenal zaman tulisan lawas mulai ditulis walaupun kebanyakan lawas yang ditulis adalah lawas tutir cerita, silsilah, dan sejarah pahlawan sakti yang ditulis dengan satra jontal huruf Sumbawa yang mirip dengan aksara suku Bugis Lontara. Lawas yang ditulis dengan menggunakan aksara Sumbawa dalam lembaran daun lontar kemudian disimpan dalam tabung bambu yang dikenal dengan nama bumung. Karena disimpan dalam tabung bambu banyak lontar yang tidak terpelihara dengan baik sehingga lontar-lontar tersebut tidak lagi dapat dibaca untuk dikeahui lawas tidak hanya sampai pada merekam peristiwa saja, namun lawas ketika zaman tulisan oleh para seniman lawas juga menciptakan lawas-lawas keagamaan/lawas akhirat yang berisi pujian kepada Tuhan Yang Mahaesa dan keagungan/keluhuran agama Islam, lawas ini kemudian dikenal lawas pamuji. Di zaman Sultan Sumbawa seorang ulama terkenal yang juga seniman lawas menciptakan lawas agama, beliau adalah Haji Muhammad Dea Kandhi Alm buku Pamuji yang ditulis dalam huruf Arab berbahasa Sumbawa sampai kini masih tersimpan pada keturunan beliau dan orang-orang tertentu. Di zaman sekarang ini sudah banyak para pencipta lawas mendokumentasikannya dalam buku cetakan atau mengumpulkan lawas-lawas yang pernah hidup di zaman lisan kini sudah ada dalam bentuk cetakan. Salah satu buku yang diterbitkan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Sumbawa 2007 karangan Usman Amin judul kumpulan lawas “Kukokat Lawas Siya” yang memuat Lawas Dunia & Pergaulan dan Lawas Akhirat & sebagai sastra lisan dalam penyebarannya disampaikan dalam berbagai bentuk pertunjukan dalam berbagai kesempatan, sehingga lawas menjadi performing art yang selalu menarik penggemarnya untuk menyaksikan walaupun harus samapai semalam suntuk. Pertunjukan lawas telah menjadi bagian dari setiap acara kegiatan baik adat maupun acara-acara keagamaan atau acara resmi sehingga kurang lengkap tanpa kehadiran pertunjukan lawas terutama dalam bentuk sakeco yang banyak diminati masyarakatnya karena mampu menjadi media komunikasi yang efektif. Di kalangan pemerintah Daerah Sumbawapertunjukan lawas telah lama dipakai sebagai media untuk memasyarakatkan program pemerintah mulai dari ABRI Masuk Desa, Keluarga Berencana, Kesehatan, P4, Kampanye Parpol, pariwisata, dan lain sebagainya. Dari gambaran di atas jelaslah bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Samawa mewarnai perkembangan lawas dan begitu pula sebaliknya lawas telah menjadi bagian dari tonggak kehidupan Konfigurasi Budaya NusantaraMenyimak perjalanan sejarah Sumbawa di masa lalu jelaslah bahwa interaksi masyarakat Sumbawa dengan orang-orang luar sudah berlangsung berabad-abad. Hubungan itu tentu saja dilakukan oleh suku-suku bangsa ini, baik di pulau Sumbawa sendiri maupun antar suku dan pulau maka berlangsunglah silih berganti antara kompetisi dan konflik, meskipun terjadi pula eksplorasi dan kooperasi. Cara-cara hidup yang masih eksklusif dari masing-masing kelompok etnis yang dianggap mempersulit interaksi kooperatif terbukti mampu dicairkan melalui kreasi-kreasi budaya. Akulturasi budaya yang begitu lama pada masyarakat Sumbawa kini telah menghasilkan berbagai konfigurasi budaya yang bernuansa etnis nusantara. Konfigurasi dalam konteks ini adalah wujud dari hasil perpaduan budaya yang dihadirkan dalam bidang seni khususnya pada puisi rakyat Sumbawa yang berupa dan gesekan kehidupan masyarakat menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, hingga terjadinya keinginan untuk tukar-menukar dan saling mempengaruhi kebudayaan. Ini terjadi dalam bentuk puisi rakyat Sumabawa dimana bentuk lawas tiga baris sebagai pengaruh puisi lisan Bugis yakni “Elong, Kelong” yang sampai kini masih bertahan pada kolektif Bugis di beberapa wilayah pesisir pantai di NTB Sumbawa, Bima, Dompu, dan Lombok. Pengaruh bentuk ini dapat dibandingkan pada contoh muita Lihatlah bulan ituAliliq alibunna Lingkarannya bundarAtikkuq rilaling Bugis Begitu pula hatiku di dalamnyaKele tau barang kayu Walaupun orang itu tidak dikenalLamento sanyaman ate Kalau dia baik budinyaBenansi sanak parana Samawa Itulah dia saudara kitaDari data di atas kedekatan kedua bentuk puisi rakyat tersebut tampak dalam urutan penyampaian maksud dimana pada baris ke tiga menjadikan simpulan dari bait diperhatikan dari jumlah suku kata setiap barisnya tidaklah sama jumlah suku kata dalam lawas rata-rata 8 suku kata sedang elong rata-rata 7 suku kata. Kerajaan -budaya Makasar Goa yang sudah lama tahun 1600-an memasuki Kesultanan Sumbawa, dalam hubungan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya interfensi budaya dan di samping adanya persebaran yang merata pada orang-orang Bugis di wilayah Sumbawa yang mempercepat proses tingginya interaksi tau Samawa dengan penduduk pendatang yang dengan segala tingkah polahnya telah menjadi inspirasi bagi para seniman tukang lawas dalam menciptakan lawas. Berbagai cerita berkembang dalam pergaulan antar komunitas, ia saling menjaga hubungan baik dalam kerangka menciptakan kedamaian di tana Samawa maka terciptalah sebuah lawas tutirprosa liris Kisah Batu Gong gubahan Haji Maswarang dari Desa Pamulung, Sumbawa. Kisah Batu Gong menceritakan dua sahabat yakni Garantung dari Makasar dan Kaki Ranggo dari Bali yang sama-sama terdampar di Labuhan Padi, tepatnya di Desa Orong Bawa di wilayah Kecamatan Utan mereka bersepakat menjadi sahabat untuk saling membentu membangun tana Samawa. Untuk mengenang persahabatan mereka lalu membangun sebuah tempat yang bernama Batu Gong di sana ada sekumpulan batu yang berbentuk seperti gong besar yang dikelilingi oleh batu-batu kecil yang melambangkan persatuan seolah isi lawas tersebut membangun sebuah konfigurasi budaya Nusantara di tana Samawa. Berikut kutipan salah satu bait Kisah Batu Gong yang disampaikan dalam -Kajiranan po sia e Setelah itu ya TuanMufakat tau telu nan Bermufakat mereka bertigaBeling koa Kaki Ranggo Kaki Ranggo berkataOe Garantung balong ate Wahai Garantung yang baik hatiSaboe pangeto mu balong Mari amalkan pengetahuanmuCoba tupina batu gong Coba kita buat batu gongAda detu bilin mate Agar ada yang kita tinggalkan matiLemanakata lupa kita Kita tidak akan dilupakanDadi sajara pang mudi Nantinya akan menjadi sejarahMasa si era ya bangun Diakhir masa nanti dibangunDadi tokal pariwisata Jadi tempat pariwisataKunjungan ling s area tau Di datangi oleh semua orang- -Batu Gong hingga saat ini menjadi sebuah tempat pariwisata di Sumabawa yang ramai dikunjungi wisatawan, seolah-olah magnet Batu Gong yang terpancar dari dua sahabat berbeda suku dan agama telah lama menanamkan semangat persatuan dan kebersamaan dengan menyingkirkan perbedaan yang ada. Inilah sebuah gambaran toleransi yang telah dibangun melalui media seni berupa yang disampaikan dalam sakeco memang penuh dengan pesan, sindiran, ejekan, dan terkadang lucu dan porno yang membuat para pendengar tersenyum sipu. Memang lawas yang dipertunjukkan sangat kontekstual dari segi isi, penanggap sakeco dapat memesan sesuatu kepada tukang lawas agar keinginan pemesan bisa disampaikan kepeda penonton melalui pertunjukan lawas. Tukang lawas sangat menguasai formula lawas, yakni kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengemukakan ide pokok tertentu Lord, 197630.Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam bentuk seni pertunjukan seperti pada sakeco. Sakeco muncul sebagai seni pertunjukan merupakan bentuk perkembangan dari Ratif yang melantunkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam yang diiringi pukulan rebana. Mengingat ratif yang penuh dakwah menjadikan penonton kurang terhibur karena syair-syair yang dilantunkan diambil dari Kitab Hadroh yang berbahasa Arab. Ratif yang penuh dakwah menyebabkan penonton pendengar kurang mendapat hiburan yang sifatnya gembira atau lucu, hal ini menyebabkankehadiran lawas sebagai seni pertunjukan lawas mendapat tempat di hati sakeco pertama kali dimainkan oleh dua orang tukang lawas dari daerah ano rawi Taliwang bernama Zakaria dan Syamsuddin. Kedua pasangan ini selalu tampil melantunkan lawas-lawas Samawa dengan iringan rebana, pasangan ini dikenal dengan nama Sake panggilan untuk Zakaria dan Co panggilan untuk Syamsuddin yang kemudia Sake dan Co menjadi sebauh kata yaitu Sakeco. Pendapat lain ada yang mengatakan bahwa kata sakeco telah ada sebelum masuknya Islam ke tana Samawa dan tak mungkin istilah tersebut bentukan dari nama dua orang tersebut. Kata sakeco dalam tuturan sehari-hari bahasa Sumbawa tidak ada selain digunakan untuk istilah tersebut, karena itu kata sakeco perlu ditelusuri lebih jauh keberadaannya. Seni pertunjukan ini mendapat pengaruh Melayu dan Arab yang merupakan konfigurasi budaya Nusantara. Seni tabuh berupa rebana kita jumpai hampir disemua daerah di Indonesia dan sejenis sakeco kita temui dalam seni Kentrung di Jawa dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat wong cilik. Kehidupan pertunjukan sakeco ditunjang oleh penanggapnya, tidak ada penjualan tiket dan jauh dari seni komersial. Dalam pertunjukan lawas sakeco antara pemain dengan penonton seakan tidak ada jarak, ikatan emosional pemain dan penonton begitu dekat. Sakeco dalam pertunjukannya menampilkan cerita rakyat berupa legenda, peristiwa sejarah atau kejadian-kejadian dalam kehidupan masyarakat yang digubah ke dalam lawas tutir cerita. Tutir yang berupa lawas disampaikan menggunakan temung yang disesuaikan dengan isi tutir itu sendiri sedih, gembira mereka sampaikan dengan penuh ekspresi. Selain itu dalam masyarakat Samawa juga dikenal seni bakelong, bentuk penyampaian elong Bugis yang juga dipadukan dengan lawas Samawa. Seni petunjukan ini juga cukup diminati oleh masyarakat Sumbawa. Seni pertunjukan di Nusantara telah mampu tumbuh dan beralkulturasi di daerah baru sebagai wujud PenutupLawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa Samawa merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Sebagai hasil budaya lawas merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut bersifat universal dan kontekstual. Lawas sebagai ekspresi masyarakat Samawa telah menyajikan sebuah konfigurasi budaya. Disadari atau tidak oleh masyarakat pemiliknya ternyata dalam perkembangannya lawas telah melahirkan berbagai konfigurasi sebagai gambaran keterbukaan masyarakat dalam menerima budaya orang lain yang dianggap masih sejalan dengan budaya Samawa. Konfigurasi ditunjukkan dalam bentuk struktur, isi, dan penyajian lawas. Pewarisan lawas sebagai puisi lisan dilakukan dari mulut ke mulut sejak zaman dahulu, pengaruh dan kemajuan zaman menyebabkan pewarisan disampaikan melalui seni pertunjukan. Pewarisan puisi lisan dalam masyarakat Sumbawa kini dilakukan dalam salah satu bentuk seni pertunjukan adalah PustakaAmin, Usman. 2007. Kukokat Lawas Siya Kumpulan Lawas Sumbawa. Sumbawa Kantor Arsip dan Perpustakaan Syaiful. 2008. Distribusi dan Pemetaan Bentuk/Jenis Karya Sastra yang Tumbuh dan Berkembang pada Masyarakat Tutur Bahasa Bugis di Kabupaten Sumbawa. Mataram Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Kantor Bahasa Provinsi James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta NTB. 1988. Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Mataram Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudyaan Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Malang Mitra Alam Albert B. 1976. The Singer of Tales. New York Lalu. 1984. Sumbawa pada Masa Lalu Suatu Tinjauan Sejarah. Surabaya J. terjemahan Muslimin Jasin. 2007. Sejarah Sumbawa. Yogyakarta RIAK Riset Informasi dan Arsip Kenegaraan.Rayes, Dinullah. 1991. Makalah, Lawas Puisi Lisan Tradisional Salah Satu Pilar Kesenian Daerah 1994/1995. Makalah, Nilai Relegi dalam Elong Ugi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Penelitian Bahasa di Ujung Helius. 1982. Makalah, Hubungan Antar Pulau dan Interaksi Antar Suku Made. 2002. Tesis, Wacana Seni Balawas dalam Masyarakat Samawa. Denpasar Program Pascasarjana Univ. VITAEN a m a MADE SUYASATempat/tgl. Lahir Selat, Karangasem, 09 April Jl. Menjangan No. 20, Kopertis Wilayah VIII Denpasar dpk. FKIP - Univ. Muhammadiyah MataramPendidikan S1 Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP-UNUD di Singaraja, Linguistik Konsentarasi Kajian Wacana Sastra, Pascasarjana-UNUD, - Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk FKIP- UM Mataram- Ketua Jurs. Pend. Bahasa dan Seni, FKIP–UM Mataram- Ketua Badan Penyelenggara Akademi Pariwisata Anggota Lembaga Penelitian, UM Anggota Lembaga Kajian Pariwisata, Akademi Pariwaisata Mataram- Ketua Redaksi Majalah Ilmiah Linguawisata Akademi Pariwisata Mataram.
A. Hakekat Sastra Lisan Samawa lawas Kata lawas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya luas, melawas luas, lapang, lega .[1]Jika dikaitkan dengan ber-lawas dalam masyarakat Samawa balawas yang menunjukkan tentang kegiatan menyampaikan lawas yang terkait dengan suasana hati yang lapang dan lega. Dengan ungkapan lain, lawas adalah the human creation that created and expressed by languange ; by writing or oral that risen the happiness and sadness in the human seul ciptaan manusia yang dilahirkan dan dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang menimbulkan rasa keindahan dan keharuan dalam lubuk jiwa manusia.[2] Menurut Sumarsono dkk. dalam Kamus Sumbawa-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, lawas adalah sejenis puisi tradisional khas Sumbawa, umumnya terdiri dari tiga baris, biasa dilisankan pada upacara-upacara tertentu.[3] Budayawan Sumbawa Dinullah Rayes menjelaskan bahwa, lawas pada mulanya berinduk pada bahasa Sumbawa yang tidak bisa dideteksi kapan mulai tumbuh/hadir ditengah masyarakat. Namun, kehadirannya dalam kehidupan masyarakat Samawa, berawal sebagai alat ekspresi batin manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu gunda-gulana, mungkin disebabkan oleh musiba atau datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya, maka untuk menanggulangi/menghibur dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata. Ucapan-ucapan itu tampak menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya.[4] Tukang pembuat lawas, H. Maswarang mengatakan bahwa, lawas adalah syair-syair yang ditembangkan sebagai bentuk pengungkapan perasaan hati dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya.[5] Mustakim Biawan mengatakan bahwa, lawas disampaikan secara lisan, sehingga menjadi begitu akrab dengan masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari mereka mengekspresikan isi hatinya, apalagi disampaikan dengan cara melagukan.[6] v Lawas tidak memiliki pola tertentu apakah bersajak a-a-a, aa-b,a-bb. v Lawas Samawa difungsikan untuk mengekspresikan batin manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu gunda-gulana, mungkin disebabkan oleh musiba atau datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya, maka untuk menanggulangi/menghibur dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata. Ucapan-ucapan itu tampak menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya.[7] Lawas juga difungsikan untuk mengungkapan perasaan hati yang artistik dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya.[8] lawas berperan sebagai alat perekam peristiwa, juga merupakan media komunikasi dengan manusia lainnya. v Tujuan penciptaan lawas adalah untuk memberikan pandangan/cerminan kepada masyarakat Samawa, bahwa dalam lawas terdapat nilai nasehat, pandangan hidup, kepercayaan, cara berfikir, dan nilai budaya etnis Samawa yang patut diteladani oleh masyarakatnya, baik dalam hubungannya dimasa lalu, masa sekarang, maupun untuk masa yang akan datang. B. Jenis Lawas Samawa Karya sastra tau Samawa seperti balawas, pada hakekatnya adalah puisi yang dilagukan. Lawas itu lahir dengan berbagai cara, ada yang dilagukan sendiri, ada pula secara bepasangan atau bermain-main dalam suatu kempulan. Bila diiringi “rebana kebo” rebana besar dengan memakai “ulan” melodi anosiyep sebelah matahari terbit dinamakan sakeco. Bila diiringi “rebana ode” rebana kecil dengan “ulan Taliwang” dinamakan langko. Bila diiringi seruling sarune dinamakan bagandang. Jika ditambahkan dengan koor “gero” disebut saketa.[9] Ada bermacam-macam lawas berdasarkan kelompok umur a. Sastra lisan lawas anak-anak tau ode yang mengedepankan dunia anak-anak yang penuh kegembiraan. Contoh Ma tunung andi ma tunung Meleng tunung kubeang me Jangan jadi kembo kopang Mari tidur adik marilah tidur Bangun tidur kuberi nasi Lauk dari susu kerbau yang panas b. Sastra lisan lawas muda-mudi taruna-dadara Berkisar sekitar perkenalan, percintaan, berkasih-kasihan, perpisahan, beriba hati. Lawas ini, biasanya dilantunkan saat bertemu jejaka dan gadis ketika menanam padi, saat memotong padi di sawah, dikala menonton keramaian kerapan kerbau, dan dalam permainan barempuk bertinju. Di sinilah terjadi pertautan batin, memendamkan perasaan, maka terjadilah kelumrahan, seperti tercermin pada lawas di bawah ini Ajan sumpama kulalo Kutarepa bale andi Beleng ke rua e nanta seandainya aku bertandang Mampir di rumah adinda Adakah gerangan belas kasihan Malalo kau e suratBawa salam doa kakuBada ling ada rasate pergilah suratku Bawa salam dan doaku Sampaikan bahwa aku mencintainya Rasate kaku andi eKu potret kau kuni poYa timal nonda ku gita keinginanku wahai adinda Seharusnya aku memotretmu Sebagai pengganti dikala aku tidak melihatmu Ajan mu gita rua ateLit rea ada si sisiKo kau no kuto sanga seandainya kamu mengetahui isi hatiku Lautan yang luas pasti bertepi Tetapi perasaanku padamu, tiada bertepi Tingi mara palaning reNongka ku ngasan baruakKu roa rari ku kawa tinggi seperti batang ilalang Aku tidak merasa letih mendaki Ku mau karena kuyakin Petang sarawi kuipiSipu ku kamata ruaBato mo batepang dating Datang kusangangkang ruaKutulang kemas katawaAndi no bosan ku tulang ku datang menghadapkan wajah Dirimu, kau tersenyum ceria Adinda tidak bosan kutatap Bua no bosan ku tulangManang mara ka tu pasukTokal mara ka tu antinKu tulang bungkun angkang si Bua ku tokal barangkangKu buya rua ling ateAda ke nasib ya kompal c. Sastra lisan lawas orang tua tau loka berintikan pendidikan islam nasihat agama dan tasawuf falsafi. Dalam hal ini menyelami lubuk hati orang tua yang bersifat didaktis berisi pelajaran dan sebagian lagi berintikan ajaran agama islam. Hal ini, dikarenakan orang tua pada umumnya memang lebih senang dengan syair yang bernuansa nilai keagamaan, seperti mengingatkan kewajiban beribadah, menyebut kematian, mengagungkan Allah, dsbnya. Contoh Ada intanku samodeng Kusangisi kotak mesir Ya timal umak rampek ban ada intanku sebutir Kusimpan dalam kotak mesir Penantang ombak penghempas papan Nyawa lalo bilen tubu Rendup nangis ling poto ban Masi po asi dunia jiwa /roh meninggalkan jasad Merintih dan bersedih di ujung papan Karena masih mendambahkan kehidupan duniawi Pamuji tentu ko Nenek Nosi bau tu kabaeng Ada pang tu bajele pujian hanya untuk Allah Tidak bisa untuk dimilki Ada tempat kita bersandar Sai sate nyaman mate Laga mo rembet sembahyang Lema nyaman nyawa lalo siapa yang ingin bahagia Rajin-rajinlah dirikan shalat Niscaya jiwa akan tenang meninggalkan raga Muhammad rasul pilihan Utusan saluruh alam Bawa rahmat kalis repan Muhammad rasul pilhan Utusan seluruh alam Membawa rahmat dari Allah. Sopo lawang katu sonap Leng dunia pang katelas Pang akherat tu baremin kita datang lewat pintu yang satu Di dunia tempat kita hidup Di akherat tempat berkumpul Ramadhan Bulan PuasaTu Boat genap SabulanWajib Lako Tu Bariman Bua Tu Boat PuasaParenta NENE’ Ko UlinNo Balong Lamin Tu Balin Sai Lale Ko ParentaSiong Si Ulin BarimanNa Arap Datang Syafa’at Lagi Dadi Tau TaqwaMin No Sampurna IbadatRapang Tu Mangan No Nginim C. Hakekat Sastra Lisan Sasak Lelakaq Lelakaq dalam bahasa Sasak, sama artinya dengan pantun. Orang Minangkabau menyebut pantun, orang Sumbawa tau Samawa menyebutnya lawas, dan orang dari daerah lainnya entah menyebutnya lain lagi. Lelakaq banyak macamnya, tergantung dari kegunaannya. Jika dipakai balawas namanya lelawas, sementara jika dipakai pada nembang namanya tembang. H. Lalu Muhammad Azhar, 1996 23. D. Jenis Lelakaq Sasak berikut jenis lelakaq sasak 1 Lelakaq Nasehat. 2 Lelakaq Bebajangan muda-mudi. 3 Lelakaq betimbalan lelakaq berkait. 4 Lelakaq Sembilinan perpisahan. 5 Lelakaq Jenaka. H. Lalu Muhammad Azhar, 1996 23. Berikut beberapa contoh lelakaq 1 Kebango enjeq-enjeq Teloq tapong bentel-entel Mun pano eraq lemaq Tain meong mun paran tekel Baris pertama dan kedua adalah sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi. v Mun pano eraq lemaq jika Anda turun ke desa esok lusa Tain meong mun paran tekel kotoran kucing dikira jajan tekel. 2 Embe jalan tipaq Rembiga Sayang-sayang ojok baret Ngumbe entan ngitaq sida Kasih sayang endaqna pegat Mana jalan ke tempat Rembiga Sayang-sayang ke barat Bagaimana cara melihat engkau Kasih sayang tidak pernah putus 3 Minaq jejukung kayuq bae Mun palembah kayuq dao Silaq tulung siq sida bae Adeq ta molah leto ngayo Membuat perahu cukup dengan kayu saja Biarpun menggunakan palembah kayu dao Silakan membantu antar sesama saja Biar kita bisa main-main ke sana 4 Mula kesuruh perang Praya Jangka lauq dateng Pujut Sorong serah aji kerama Pusaka laeq masih teturut 5 Jangka timuq perang Pringgabaya Jangka daya dateng Sokong Bayan Adeqda mauq pada memeta Suka begawean polos bekelampan 6 Bukal anteq-anteq Kedebong bawaq alang Mun suka Raden Pateq Tanggep gong gorok lepang. H. Lalu Muhammad Azhari, 1996 23 – 25. v Lelakaq umumnya berpola ab-ab. v Fungsi lelakaq adalah ; a sebagai hiburan dikala hati dibalut duka dan sedih, b sebagai sindiran dan kritikan, c sebagai alat kontrol sosial, d sebagai media untuk menarik perhatian sang kekasih.[10] v Tujuan lelakaq ; a untuk memberikan pandangan kepada masyarakat bahwa dalam lelakaq ada nilai, cara berfikir etnis Sasak yang harus dapat dipetik oleh masyarakatnya, b dengan hadirnya lelakaq dapat menonjolkan identitas bahasa Sasak sekaligus sebagai alat untuk menjaga bahasa Sasak dari kepudaran.[11] E. Kategori yang Dibandingkan antara lawas Samawa dengan lelakaq Sasak a. Lawas Samawa tidak memiliki pola tertentu[12]. Sementara lelakaq umumnya berpola ab-ab. b. Lawas Samawa terdiri atas tiga jenis, berdasarkan kelompok umur, yaitu ; 1 Lawas anak-anak, 2 lawas muda-mudi Taruna-dadara, 3 lawas orang tua/tau loka orang tua. Sedangkan lelakaq Sasak terdiri atas lima jenis, yaitu 1 lelakaq nasehat, 2 lelakaq bebajangan muda-mudi, 3 lelakaq sembilinan perpisahan, 4 lelakaq betimbalan lelakaq berkait, dan 5 lelakaq jenaka. c. Lawas terdiri atas 3 baris setiap bait ; baris pertama dan kedua adalah berisi sampiran, sedangkan baris ketiga adalah isi/makna. Sementara lelakaq sasak terdiri atas 4 baris setiap bait ; baris pertama dan kedua berisi sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi/makna. d. Dalam melantunkan lawas harus menggunakan lagu/intonasi, untuk mendramatisasi keindahan bunyi bahasanya. Begitu juga pada lelakaq dalam melantunkan bisa dengan cara lelawas balawas dan ditembangkan. e. Diksi pada lawas cenderung menggunakan bahasa kalam/halus Samawa, sebagai citraan identitas etnis Samawa. Sedangkan diksi pada lelakaq cenderung menggunakan bahasa sehari-hari, dan terkadang juga disimulasikan dalam bahasa kalam Sasak. f. Pencipta cenderung menggunakan/menghadirkan suasana bahasa lawas dalam bentuk konotasi dalam mengapresiasikan hasil karyanya, dan ada juga yang menggunakan kata-kata denotasi. Sedangkan lelakaq terkadang juga menggunakan bahasa konotasi dan denotasi. g. Lawas Samawa difungsikan untuk mengekspresikan batin manusia yang diliputi oleh rasa haru, sendu gunda-gulana, mungkin disebabkan oleh musiba atau datangnya marabahaya yang mengancam hidupnya, maka untuk menanggulangi/menghibur dicurahkan perasaannya dalam bentuk kata-kata. Ucapan-ucapan itu tampak menjadi sebuah kekuatan dalam upacara untuk mengusir unsur-unsur yang menimbulkan rasa marabahaya.[13] Lawas juga difungsikan untuk mengungkapan perasaan hati yang artistik dalam bentuk cinta, sedih, kritik, nasehat, dan sebagainya.[14] lawas berperan sebagai alat perekam peristiwa, juga merupakan media komunikasi dengan manusia lainnya. Sedangkan lelakaq difungsikan; a sebagai hiburan dikala hati dibalut duka dan sedih, b sebagai sindiran dan kritikan, c sebagai alat kontrol sosial, d sebagai media untuk menarik perhatian sang kekasih.[15] h. Tujuan penciptaan lawas adalah untuk memberikan pandangan/cerminan kepada masyarakat Samawa, bahwa dalam lawas terdapat nilai nasehat, pandangan hidup, kepercayaan, cara berfikir, dan nilai budaya etnis Samawa yang patut diteladani oleh masyarakatnya baik dalam hubungannya dimasa lalu, masa sekarang, maupun untuk masa yang akan datang. Sedangkan tujuan penciptaan lelakaq adalah a untuk memberikan pandangan kepada masyarakat bahwa dalam lelakaq ada nilai, cara berfikir etnis Sasak yang harus dapat dipetik oleh masyarakatnya, b dengan hadirnya lelakaq dapat menonjolkan identitas bahasa Sasak sekaligus sebagai alat untuk menjaga bahasa Sasak dari kepudaran.[16] LAMPIRAN TEKNIK MEMPEROLEH DATA TEKNIK INTERVIEW BERIKUT INFORMAN YANG DIJADIKAN SUMBER A Wawancara dengan Dinullah Rayes, 19 Oktober 2006. Dalam Sastra Lisan Lawas Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya, Oleh Muhammad Saleh. B Wawancara dengan Maswarang, 31 Oktober 2006. Dalam Sastra Lisan Lawas Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya, Oleh Muhammad Saleh. C Wawancara dengan Mustakim Biawan, 3 November 2006. Dalam Sastra Lisan Lawas Etnis Samawa dan Muatan Nilai Keagamaannya, Oleh Muhammad Saleh. D Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009. DAFTAR PUSTAKA Lalu Manca. 1984. Sumbawa Pada Masa Lalu ; Suatu Tinjauan Sejarah. Surabaya Rinta. Sumarsono et. Al. 1985. Kamus Sumbawa-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Penelitian Bahasa. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarata Balai Pustaka. Azhar, H. Lalu Muhammad. 1996. Reramputan Pelajaran Bahasa Sasak Untuk Kelas 4 Sekolah Dasar. Klaten Utara PT Intan Pariwara. Azhar, H. Lalu Muhammad. 1996. Reramputan Pelajaran Bahasa Sasak Untuk Kelas 5 Sekolah Dasar. Klaten Utara PT Intan Pariwara. Goverment Tourism Service of Sumbawa. Regional Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa. Sumbawa. [1] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarata Balai Pustaka, 1989 504. [2] Goverment Tourism Service of Sumbawa, the Regional Art of The Principal Tourism Object of Sumbawa Sumbawa tp., 1997 12. [3] Sumarsono et. al, Kamus Sumbawa-Indonesia Jakarta, Pusat Pembinaan dan Penelitian Bahasa, 1985 75. [4] Wawancara dengan Dinullah Rayes, 19 Oktober 2006. [5] Wawancara dengan Maswarang, 31 Oktober 2006. [6] Wawancara dengan Mustakim Biawan, 3 November 2006. [7] Wawancara dengan Dinullah Rayes, 19 Okrober 2006. [8] Wawancara dengan Maswarang, 31 Oktober 2006. [9] Lalu Manca, Sumbawa Pada Masa Lalu ; Suatu Tinjauan Sejarah Surabaya, Rinta, 1984, cet. I. 40. [10] Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009. [11] Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009. [12] Tidak tentu polanya apakah bersajak aa-b,a-bb, a-a-a, dsbnya tergantung keinginan para pencipta lawas. Kalau memang ingin menonjolkan keindahan bunyi bahasa, terkadang menggunakan bahasa yang bernada sama di ujung baris setiap bait, sehingga dapat juga berpola a-a-a. [13] Wawancara dengan Dinullah Rayes, 19 Oktober 2006. [14] Wawancara dengan Maswarang, 31 Oktober 2006. [15] Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009. [16] Interview dengan Bapak Azhari, 20 Mei 2009.
Lawas Sayang; Taruna Loas (Bujang Lapuk) Pasangan Mabuk Cinta; Kecewa Di Tolak Cinta; Lawas: Suara Hati Janda Mati; Lawas: Tu Rapanan (?) Lawas: Buah Ate; Lawas: Numpu (Jempol) Lawas: Permintaan Janda; Lawas: Taliwang; Lawas: Rayuan Maut; Lawas: Cemburu; Lawas: Balu Ngantung; Lawas: Nasehat Tu Kasepak; Lawas: Cinta Andra & Dewi; Lawas: Belajar; Lawas; Pasangan Setia
0% found this document useful 0 votes3K views21 pagesCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes3K views21 pagesLawas, Sakeco Dan Tuter SamawaJump to Page You are on page 1of 21 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 15 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Page 19 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. Sumbawaadalah lawas. 2.2 Hakikat Lawas Lawas merupakan puisi rakyat yang menggunakan bahasa Sumbawa baik lisan maupun tulisan untuk mengekspresikan atau mengungkapkan perasaan hati dalam berbagai peristiwa. Juanda (2016) menyatakan, lawas adalah sastra lisan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Sumbawa untuk mengungkapkan isi hati Langko merupakan penyampaian Lawas yang dilakukan oleh sekelompok pemuda dan kelompok pemudi yang saling beradu Lawas cinta. Lawas-Lawas yang disampaikan dalam Langko berbeda dengan Lawas Sual. pada saat Malangko, Lawas yang disampaikan harus dijawab dengan Lawas, yang perlu diperhatikan dalam Malangko adalah langgam lagu Lawas yang dibawakan. Langgam lagu Langko ini yang sangat diperhatikan oleh si pelantun, selain juga Lawasnya. Jika tidak mampu mengikuti langgam lagu Langko, maka dianggap kalah, ditertawakan, dan juga malu. Mereka yang akan ikut Malangko harus orang-orang yang pandai baLawas dan juga pandai menembangkan langgam Langko. Kegiatan Malangko biasanya dimanfaatkan oleh para muda-mudi untuk mencari jodoh, oleh karena itu muda-mudi di Sumbawa pada waktu itu berusaha semaksimal mungkin untuk bisa BaLawas. Mereka yang bisa BaLawas di Sumbawa akan mempunyai pergaulan yang luas. Di Sumbawa ada dikenal tiga jenis orang, yakni Nyir Tamat Telu bisa membaca Al-Quran; bisa Ratob; dan bisa BaLawas. Lawas Langko. Putra Kusamula Ke Bismillah Kusasuda Ke Wassalam Nan Ke Salamat Parana kumulai dengan bismillah-kuakhiri dengan wassalam-agar diri jadi selamat Putri Rungan Rame Boat Sia Bagentar Tana Samawa Batomo Nyata Kugita kabarnya meriah pesta Tuan—bergetar tanah Sumbawa—kini nyatalah sudah Putra Tugitaq Nyata Ke Mata Riam Mara Den Baringin No Bola Ne Bawa Rungan nyata terlihat mata—lebat bagai daun beringin—tidak bohong pembawa berita Putri Rungan Balongmu Andi E Kaleng Empang Ko Sakongkang Nomonda Dengan Kubaning tersiar kecantikanmu duhai dinda—dari empang ke Sekongkang—tiada tanding tiada banding Sumber Lawas merupakan seni yang tidak terpisahkan dari setiap kegiatan adat sumbawa. Kami memiliki banyak kumpulan lawas sumbawa yang bertema nasehat, rayuan atau percintaan kunjungiKumpulan Lawas Sumbawa Kami Klik Disini. Lawasialah ungkapan ekspresi sejenis puisi atau pantun yang berisi tiga baris biasanya dihadirkan pada momen upacara adat, penikahan, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Syair bakelong biasanya memiliki pesan moral tentang cinta, nasehat, dan motivasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. ================== By Andra Shate Taubat Sadar gama tu kasepak goyo ate no kabolat telas bae ka po mate ka batungku nonda balat ka po ada tu basala goyo po nan tu ramanjeng ta bagian pang dunia lalo datang nan palangan mate telas ka mo jangi terjemahan ======== semoga sadar orang yang kecewa jangankan hati tak terpisah hidup saja harus mati pernah menyatu tanpa batas menikah masih ada orang bercerai jangankan itu orang pacaran ini takdir didunia pergi-datang itu perjalanan mati-hidup sudah perjanjian .